ArabicChinese (Simplified)EnglishFrenchGermanIndonesianKorean

Hidup Sejahtera

March 1, 2011 by  
Filed under Opini

Share this news

Oleh: Intoniswan

Para orangtua mengeluhkan kondisi hidup yang semakin susah. Anak muda juga sepertinya putus asa mencari lapangan kerja yang memberi peluang untuk bisa hidup lebih sejahtera. Remaja yang masih sekolah atau sedang kuliah juga tidak punya gambaran yang jelas tentang masa depannya. Berangkat ke sekolah atau ke kampus dipandang tak lebih dari kegiatan rutin dengan capain yang diharapkan cuma dapat selembar ijazah.

Petani yang turun ke kebun setiap pagi dan pulang sore juga tidak bisa berharap banyak dari hasil usahanya sebab, biaya produksi semakin mahal dan nilai jual yang didapat terkuras habis oleh inflasi dan membumbung tingginya harga kebutuhan pokok, biaya anak sekolah yang semakin mahal, serta ongkos yang dikeluarkan untuk kebutuhan dasar, listrik, gas, dan minyak terus merangkak naik.

Buruh tambang, pabrik, dan pekerja sektor informal pun bekerja tanpa motivasi yang kuat untuk masa depan kariernya sebab, imbalan yang diterima setiap bulannya hanya cukup untuk membayar uang sewa rumah, biaya transport, dan makan minum. Dari itu buruh sekarang di republik ini tak lebih dari seorang pekerja paksa zaman Belanda atau Jepang. Buruh tak lebih dari seekor sapi perahan,  setelah susunya diminum pengusaha atau investor hanya mendapat imbalan sekeranjang rumput.

Pengusaha dan investor pun berdalih tidak bisa memberi upah yang layak karena biaya produksi makin mahal, barang tidak laku di pasar dan lain sebagainya. Tapi dalam kenyataannya suatu grup usaha bisa berkembang investasinya ke berbagai usaha baru. Jadi dalam hal ini praktik kapitalisme di Indonesia benar-benar berkembang dalam bentuknya yang ekstrim. Bila di Amerika dan Eropa pemegang kapital mendistribusikan kepemilikan usahanya sampai ke buruh, di Indonesia buruh benar-benar hanya kuli pengumpul kapital bagi pengusaha.

Pemerintah dalam hal ini sebagai regulator sepertinya  tidak cermat melihat apa yang terjadi dan menimpa kalangan buruh, dimana tidak ada sebenarnya peningkatan kualitas hidup yang diterima buruh walau nilai investasi masuk ke Indonesia meningkat. Upah buruh murah secara terselubung masih digunakan pemerintah sebagai insentif menarik investasi asing ke Indonesia. Kondisi seperti itu sebenarnya tidak berubah sejak rezim orde baru hingga saat ini.
Sistem pengupahan buruh yang berpatokan pada kebutuhan fisik minimum juga tak berubah walau sistem pemerintahan sudah berubah. Alhasil buruh tetap saja hidup dalam standar paling minimum. Kemudian status pekerja yang outsourcing juga sangat merugikan pekerja dan masa depan pekerja. Pekerja kehilangan kesempatan menjadi karyawan tetap dan tidak ada hak menerima pesangon, walau sudah bekerja bertahun-tahun sebab, setiap awal tahun kalau kontrak kerja diperpanjang, masa kerja seseorang kembali ke nol tahun.

Dalam hal ini, pemerintah sebagai regulator malahan tidak menggunakan kekuasaannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat pekerja di semua sektor kegiatan ekonomi dalam negara yang disebut punya cita-cita mesejahterakan ratyatnya. Sebaliknya pemerintah malahan memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada investor atau pemilik modal (kapital) menghisap tenaga rakyat sebebas-bebasnya.

Jadi kapitalisme dan liberalisme ekonomi yang tumbuh di Indonesia jauh lebih buruk dari tempat tumbuh dan berkembangnya kapitalisme dan liberalisme itu sendiri di Amerika dan Eropa. Dari itu bisa jadi benar hasil survei  menyebutkan, lebih dari 60 persen pekerja di Indonesia menerima upah jauh dari harapan bisa membuatnya hidup sejahtera.

Paparan pemerintah yang menyebutkan keadaan terus membaik serasa tidak ada artinya sebab bertolak belakang dengan kenyataan yang dihadapi masyarakat sehari-hari. Hasil hitung-hitungan pemerintah tentang kondisi ekonomi dan sosial negara dan rakyat tak lebih dari pemanis saja. Dari itu tidak salah juga kalau tokoh lintas agama menuding pemerintah telah melakukan kebohongan publik. Penjelasan pemerintah bahwa tahun 2009, Indonesia sudah kembali swasembada beras juga sangat tidak masuk akal sebab pada tahun ini kembali Indonesia harus mengimpor beras sebanyak 2.000.000 ton. Katanya sih untuk mengamankan stok beras bagi orang miskin.

Sebagai bangsa yang besar kita tidak boleh pesimis, tapi sebagai bangsa yang makin terdidik dan semakin bisa berpikir rasional, kita juga boleh pesimis bahwa negara bercita-cita mensejahterakan rakyatnya, itu hanya mimpi. Sebab tidak ada langkah nyata dalam bentuk regulasi yang dibuat pemerintah menolong ekonomi dan pendapatan rakyat semakin membaik. Alih-alih melindungi rakyat dari kapitalisme dan liberalisme ekonomi, pemerintah malahan lebih berpihak kepada pengusaha dengan membiarkan terjadinya penghisapan tenaga pekerja oleh pengusaha.

Pemerintah yang lebih banyak memperhatikan kesejahteraan pengawai negeri sipil dan militer, serta pejabat negara, tapi mengabaikan kesejahteraan sebagian besar rakyat yang bekerja di sektor informal dan pertanian, serta pekerja di industri bisa menjadi “bom” waktu dikemudian hari.

Adanya anarkisme yang tumbuh subur saat ini bisa jadi karena adanya anomali dalam masyarakat itu sendiri sebab sudah putus asa melihat negara yang tidak bisa berbuat nyata untuk membawa rakyat ke kehidupan yang lebih baik dari hari ke hari. Semakin hari semakin dalam saja rakyat terkubur dalam kondisi ekonomi buruk. Semakin hari semakin tidak menentu saja kondisi yang harus dihadapi rakyat. Bisa jadi dalam 10 tahun nanti, kita akan melihat orang kaya menjadi korban anarki dari rakyat miskin.@


Share this news

Respon Pembaca

Satu Komentar untuk "Hidup Sejahtera"

  1. Rachmat on Fri, 4th Mar 2011 8:51 am 

    Mudah-mudahan tidak se negatif yang Bapak pikirkan siapa tahu nanti ekonomi kita bisa bangkit,..asal kita berusaha bersama dan tidak bersikap individualis, kita bisa bangkit,semoga,…

Silahkan tulis komentar anda...





Redaksi menerima komentar terkait artikel diatas. Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhak tidak menampilkan komentar jika mengandung perkataan kasar, menyinggung, mengandung fitnah, tidak etis, atau berbau SARA.