ArabicChinese (Simplified)EnglishFrenchGermanIndonesianKorean

Jurnalis Saat Ini Sudah Hilang Pemikiran Kritisnya

October 5, 2019 by  
Filed under Kalimantan Timur

Share this news

SAMARINDA : Seorang wartawan dituntut untuk bekerja secara professional yaitu mencari kebenaran yang hakiki terhadap sesuatu masalah, bukan berdasarkan menurut kelompok yang banyak dan beranggapan benar, karena kelompok yang diistilahkan dengan Groupthink ini justru menjadi musuh bagi jurnalis.

Hal ini disampaikan oleh Bambang Harymurti, komisaris Tempo Group yang juga dipercaya sebagai wakil Ketua Dewan Pers saat menyampaikan materi “Peliputan Pilkada 2020, belajar dari Peliputan Pemilu 2019, dalam Workshop Peliputan Pasca Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019 garapan Dewan Pers yang berlangsung di Ruang Sungai Pinang Hotel Senyiur Samarinda, (3/10/2019)

“Ciri Groupthink ini adalah satu komunitas yang menganggap dirinya paling benar, dan penyebalkan bagi orang di luar komunitas tersebut”, jelas Bambang Harymurti yang biasa disapa dengan BHM.

Dijelaskan oleh BHM, bahwa fungsi media jangan sampai berubah, media sebagai institusi yang bisa mengontrol untuk menuju kebenaran bukan berfungsi sebagai provokasi dan memecah belah bangsa.

Perbedaan dengan media pers dengan media propaganda adalah ditujuan, jika pers berusaha mencari kebenaran, sedangkan propaganda mencari pembenaran.

Kondisi saat ini media pers kehilangan pemikiran kritisnya, terutama pada kondisi Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019 kemarin, dimana kondisi masyarakat terbawa oleh media sosial lebih banyak informasi yang justru benar menurut mereka yang menyebarkan.

“Jika seorang jurnalis menulis tentang sesuatu kebenaran dalam permasalah, kemudian ada satu kelompok yang bertentangan dengan kebenaran tersebut, justru Jurnalisnya dicari-cari latar belakangnya yang jelek-jelek dan digunakan untuk menyerang balik, perlakukan ini disebut dengan istilah doxing, jadi komunitas tersebut berusaha menghukum jusnalis dengan menggiring opini melalui media sosial yang biasa disebarkan oleh buzzer”, jelas BHM.

Sebenarnya buzzer ini ada dua jenis, yaitu buzzer yang positif dan buzzer yang negative. Buzzer yang positif biasanya menyebarkan informasi tentang program, atau hal positif lainnya, sedangkan buzzer negative adalah buzzer yang berorientasi untuk menjelek-jelekkan pihak lain.

Buzzer ini merupakan pemain baru di dunia digital, yaitu suatu pekerjaan bagi penggemar media sosial dimana bisa menghasilkan uang, dengan menyebarkan propaganda di media sosial baik secara positif maupun negative.

“Disinilah tantangan pers agar bisa dijadikan rujukan oleh masyarakat akan kebenaran. informasi yang disebarkan oleh para buzzer yang lebih banyak menyesatkan jika ditelan mentah-mentah sehingga menyebabkan doxing bagi obyek informasinya, sehingga seorang jurnalis dituntut memiliki pemikiran kritis tidak terkungkung dalam satu groupthink”, jelasnya.

Workshop yang berlangsung sehari tersebut dibuka oleh Asep Setiawan mewakili Ketua Dewan Pers, yang sekaligus sebagai narasumber pada sesi kedua dengan tema “Peliputan Pemilu 2019 mengawal janji-janji kampanye”, sebelumnya di sesi pertama mantan Kedua Dewan Pers Bagir Manan menyampaikan tema “Pemberitaan Pers Pasca Pemilu 2019 dalam menjaga keutuhan dan kestabilan sosial menuju pilkada 2010” (vb-01)

 


Share this news

Respon Pembaca

Silahkan tulis komentar anda...





Redaksi menerima komentar terkait artikel diatas. Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhak tidak menampilkan komentar jika mengandung perkataan kasar, menyinggung, mengandung fitnah, tidak etis, atau berbau SARA.